Geisha.
Oh … itu wanita penghibur dari Jepang dengan wajah putih tembok, bibir merah cabe, bersanggul besar dan mengenakan kimono. Begitu mungkin imajinasi yang terbentuk di benak kita jika mendengar kata geisha. Pemahaman yang sama sekali tidak salah, hanya mungkin agak terlalu ‘simpel’. Geisha bukan sekedar wanita penghibur, mereka bukan sekedarprostitute, tetapi lebih dari itu.
Lebih dari sekedar prostitute?
Untuk menjadi geisha, seorang gadis harus menjalani latihan bertahun- tahun di okiya (rumah geisha), dengan biaya yang sangat mahal. Seorang geisha harus pandai memainkan alat musik tradisional Jepang, yaitu Shamisen, piawai menari, menguasai sastra, dan memiliki pengetahuan luas sehingga bisa diajak berbicara apa saja. Geisha juga harus berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati.
Memikat hati siapa? Para pria pelanggannya, of course …
Keberadaan geisha dalam struktur kehidupan Jepang sudah berlangsung selama 400 tahun. Pada suatu masa dalam sejarah negeri Sakura ini, geisha memiliki posisi yang demikian penting dan tinggi, meskipun kini mereka hampir punah terlibas zaman …
Geisha, mereka begitu populer, tetapi kehidupan mereka sesungguhnya, terselimut rapat dalam rahasia …
Adalah Arthur Golden, seorang penulis Amerika yang tersihir oleh tradisi misterius geisha. Ia menghabiskan waktu 10 tahun untuk melakukan riset tentang kehidupan geisha, yang kemudian divisualkan dalam bentuk film dokumenter yang sangat memikat oleh BBC.
Jauh dari kehidupan sehari-hari, geisha adalah golongan elit. Bagi kebanyakan orang, tidak terlalu mudah untuk melihat geisha. Mereka menjadi simbol yang dipuja dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam budaya Jepang. Geisha sendiri berarti ‘seniman’.
Geisha pertama kali muncul pada tahun 1600-an. Pada masa itu, pusat pemerintahan Jepang berada di kota Edo, yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo, dengan Shogun sebagai penguasa penuh. Pada awalnya, geisha adalah laki-laki. Mereka menari dan menyanyi untuk menghibur para tamu. Namun kemudian, geisha laki-laki digantikan oleh geisha perempuan, dan hingga sekarang semua geisha adalah perempuan.
Geisha dilatih untuk menyenangkan tamu. Mereka juga harus menutup mulut rapat-rapat, tidak boleh membocorkan apa pun yang pernah dibicarakan tamu.
Pada tahun 1779 geisha diakui sebagai sebuah profesi. Pemerintah kemudian membentuk Kenban untuk mengawasi mereka, mencegah geisha menjadi pelacur. Geisha bertugas menghibur tamu dalam pesta, tetapi tidak melacurkan diri secara bebas. Untuk itu, Kenban mengeluarkan peraturan yang mengharuskan geisha diantar pergi dan pulang dari pesta, agar mereka tidak ‘berbelok di jalan’.
Bagaimana perjalanan seorang perempuan hingga menjadi geisha?
Kyoto adalah pusat keberadaan geisha. Di Kyoto terdapat wilayah yang disebut Gion, yang merupakan tempat gadis-gadis muda mengawali karier sebagai geisha. Gadis-gadis kecil berumur 7 atau 8 tahun mulai dididik disini, dan selama bertahun-tahun mereka dilatih oleh guru geisha, belajar bahasa, memainkan alat musik Shamisen, menari, dan sebagainya. Murid dari Gion disebut Maiko. Biaya pendidikan geisha, serta biaya untuk membeli kimono dan perlengkapan lainnya, mencapai 500.000 $US.
Para geisha tinggal di okiya (rumah geisha) yang dipimpin oleh ‘Ibu Geisha’. Hubungan di antara sesama geisha sangat erat, seringkali melebihi kedekatan hubungan dengan keluarga sendiri. Geisha-geisha yang masih muda memiliki ‘kakak geisha’ yang membimbing mereka untuk menjadi geisha sempurna.
Pada suatu masa, terdapat seorang geisha berwarga negara Amerika, bernama Liza Dalby.Ini adalah suatu pengecualian yang luar biasa, karena semua geisha adalah orang Jepang. Pada awalnya, Liza mempelajari geisha untuk gelar doktornya. Ia tinggal bersama para geisha, dan begitu terpesona pada dunia ini sehingga akhirnya memutuskan untuk menjadi geisha. Seorang geisha bermata biru, selalu membuat para tamu terkejut. Liza memiliki kualifikasi yang sangat bagus sebagai geisha, dan lama sesudah ia meninggalkan dunia ini, ia masih selalu mengenang kehidupan para geisha dengan penuh cinta.
Liza Dalby, melakukan penelitian doktor tentang geisha, sebelum akhirnya menjadi geisha
Dalam kehidupan geisha dikenal adanya mizuage, yaitu menjual kegadisan pada penawar tertinggi, yang berlangsung sejak tahun 1930-an. Harga tertinggi yang pernah dicapai dalam mizuage adalah 850.000 dolar ! Mizuage ini seringkali menjadi peristiwa traumatis bagi seorang geisha.
Riasan seorang geisha sangat khas. Wajah disaput bedak putih tebal, separuh bibir dicat dengan warna merah tua. Yang menarik, pada leher bagian belakang, di batas anak rambut, kulit sengaja tidak dibedaki, sehingga memperlihatkan kulit asli sang geisha. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan ketelanjangan yang sensual. Paling tidak, begitulah menurut selera lelaki Jepang …
Benda paling berharga bagi seorang geisha adalah kimono, karena kimono yang bagus sangat mahal, dan mereka harus selalu mengenakan busana itu. Warna kimono dipilih sesuai dengan musim : hitam untuk awal tahun dan hari-hari penting, pink untuk musim semi, jingga untuk musim gugur, dan hijau untuk musim dingin. Sanggul geisha ditata seminggu sekali oleh penata rambut profesional yang sudah berpengalaman selama puluhan tahun. Agar tatanan rambut tidak rusak, geisha tidur dengan leher disangga balok kayu. Jika keluar rumah, geisha mengenakan bakiak tinggi, agar kimononya tidak kotor.
Geisha berbeda dengan pelacur, dan hal ini tampak pada cara mereka berpakaian. Pelacur mengikat obinya di depan, sedangkan obi geisha diikat di belakang. Karena diikat di depan, pelacur dengan mudah akan mengenakan obinya kembali setelah dibuka. Sedangkan geisha, karena obinya diikat di belakang, mereka tidak bisa setiap saat membuka dan mengikatnya kembali, karena untuk mengikat obi di belakang membutuhkan bantuan juru riasnya.
Tiga orang geisha berjalan di Kyoto. Agar tampil sempurna, mereka membutuhkan waktu berjam-jam untuk merias diri dan mengenakan kimono.
Kimono yang ketat membuat mereka harus berjalan dengan langkah kecil-kecil. Dengan bakiak tinggi, sungguh tidak mudah …
Dalam tradisi masyarakat Jepang, sangat jarang seorang suami bercengkerama dengan isterinya. Tugas isteri adalah mengatur rumah tangga dan membesarkan anak, sementara suami membayar geisha untuk bersenang-senang. Anehnya, banyak perempuan Jepang justru bangga jika suaminya menjadi pelanggan dan memiliki hubungan dengan seorang geisha. Paling tidak, pengakuan seperti itu keluar dari bibir isteri Profesor Moriya, seorang pelanggan geisha.
“Jika suami menghadapi masalah, atau berurusan dengan orang yang tidak disukainya, dan pikirannya kusut, ia akan pergi menemui geisha. Lalu ia pulang dengan senyum lebar, dan saya ikut tersenyum. Saya bangga suami saya berhubungan dengan geisha, seorang wanita profesional … ” ia berkata.
Wooooh …..
Seorang geisha di antara para tamunya
Seorang geisha tidak boleh menikah, tetapi ia bisa memiliki anak dariDanna, pria yang menjadi kekasih dan menanggung biaya hidupnya. Biaya hidup geisha sangat mahal, dan ia dituntut untuk selalu tampil mewah. Di sebuah toko di Gion, harga sebuh tali untuk mengikat obi (ikat pinggang kimono) mencapai 220 $US, sementara harga tas pelengkap kimono mencapai 500 $US. Namun demikian, penghasilan seorang geisha juga cukup besar. Untuk tampil selama 1 jam, tamu harus membayar 500 $US. Mameka, seorang geisha senior, memiliki penghasilan 8000 $US per bulan. Ia memiliki Danna yang kaya raya, yang membelikannya sebuah apartemen mewah seharga 850.000 $US. Mameka menjadi contoh ideal bagi paramaiko, geisha muda di Gion.
Kini, jumlah geisha di Tokyo tinggal sekitar 100 orang. Namun demikian, di pantai Atami, muncul sebuah tempat bernama Hot Spring Geisha, dimana para wanita tuna susila menyamar sebagai geisha, dan melakukan pertunjukan dengan harga tiket yang sangat murah. Para geisha palsu ini menari dan menyanyi sekedarnya, bahkan rambut mereka pun palsu (semacam wig yang tinggal dipasang di kepala). Dengan membayar 8$US, orang dapat menyaksikan ‘geisha’ Hot Spring menari dan menyanyi. Begitupun, pengunjung puas, dan percaya mereka telah benar-benar menyaksikan geisha.
Pertunjukan ‘geisha’ di Hot Spring di Atami. Para geisha palsu ini berjumlah sekitar 400 orang, lebih banyak dari geisha asli
Dalam setiap budaya bangsa-bangsa di seluruh dunia, selalu ada perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai penghibur pria. Sungguh menyedihkan, tetapi itulah realita yang ada. Posisi laki-laki dan perempuan yang timpang, dimana perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi, membuat banyak perempuan berada pada posisi yang tidak berdaya, dan diperdayakan.
Semoga ke depan perempuan di seluruh dunia mampu bangkit dan mensejajarkan dirinya dengan para pria. Bukankah sesungguhnya pria dan wanita adalah sesama manusia yang harus saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing?